Jakarta, (26/01/2021). NEPAR (Networked Pattern Recognition) Framework adalah sebuah lembaga penelitian di Universitas Binghamton, New York, yang namanya mendadak kondang sekitar tahun 2017. Pasalnya, institusi inilah antara lain yang mampu menjelaskan bagaimana presisinya data science dapat digunakan untuk menanggulangi aksi terorisme.

Upaya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan 150.000 serangan teroris sepanjang 1970 hingga 2015. Kemudian, membaca pola penyerangan untuk memahami perilaku, menganalisis pola, dan hubungannya dengan aktivitas terorisme. Dengan begitu, mereka mampu memprediksi pergerakan teroris kemudian mendeteksi dan mencegah kemungkinan adanya aksi terorisme. Metode tersebut diklaim memiliki tingkat akurasi sebesar 90 persen.

Begitupun, sebuah proyek besar data mining yang dilakukan oleh Qatar Computing Research Institute di Doha pada tahun 2015, menganalisis data dari media sosial untuk menemukan asal para pendukung ISIS.

Para peneliti mempelajari tiga juta tweet yang dipost dalam periode tiga bulan. Mereka lalu menargetkan pola kunci dan karakteristik atau isi cuitan tersebut. Mereka kemudian dapat menciptakan algoritma yang mampu mengelompokkan pengguna Twitter tersebut, apakah mereka anti atau pro ISIS dengan tingkat akurasi sebesar 87 persen. Dengan kemampuan tersebut, alat ini akan berguna dalam membatasi pertumbuhan kelompok penyebar aksi terorisme.

Selain memanfaatkan data dari media sosial dan data dari serangan terorisme sebelumnya, salah satu cara lainnya adalah dengan memanfaatkan drone atau pesawat tanpa awak. Drone tersebut akan beroperasi dan mengintai daerah yang dinilai berpotensi timbul aktivitas mencurigakan.

Data tersebut ditampilkan secara real time, kemudian akan digabungkan dengan data dari sumber dan regu lainnya. Setelah terkumpul semua, kemudian data-data tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi di mana para teroris berada dan ke mana mereka akan bergerak.

Boleh jadi itulah gambaran sekilas dan prediksi kepolisian RI jika kelak benar-benar menerapkan AI dan Big Data. Contoh-contoh mutakhir tersebut meski bukan di wilayah RI, sedikit banyak juga yang akan terjadi di kepolisian RI di masa depan. Dan di bawah kepemimpinan Kapolri baru yang akan dilantik Rabu (27/1), hal itu bukan lagi impian, karena sudah masuk dalam program kerjanya ke depan.

Menurut Listyo, Implementasi pemolisian prediktif di Indonesia dapat dikembangkan dengan mengedepankan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas) melalui pelaksanaan fungsi-fungsi terdepan kepolisian dalam sistem deteksi. Jika itu terwujud, akan membuahkan agregat data hasil deteksi yang dapat dikelola melalui optimalisasi pemanfaatan teknologi digital berupa Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IOT), Analysis Big Data termasuk sistem pendukung lainnya dalam taksonomi bloom penguatan kelembagaan Polri. Ya, AI memang sudah saatnya mendukung tugas polisi sehingga dapat lebih memilki kemampuan untuk melakukan tindakan pencegahan tindakan kriminal. Dan tidaklah berlebihan bahwa AI kelak akan menjadi “Polisi” masa depan di Indonesia. Bukan menggantikan fungsi polisi, namun dengan AI, maka tugas-tugas Hankamtibnas akan lebih akurat dan presisi. (Saf).

Artikel sebelumyaTerorisme: Aliran Dana dan konten Media Sosial di Indonesia
Artikel berikutnyaDi bawah Kapolri baru, kelak Polsek tak akan “cari-cari perkara”
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments