Satubersama.com – Keputusan pemerintah menunda pelantikan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) memicu polemik di kalangan tenaga kerja. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mempersilakan para CASN dan PPPK yang terdampak untuk mendaftar ke program pelatihan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Namun, langkah ini dinilai tidak cukup untuk mengatasi ketidakpastian yang mereka hadapi.
Penundaan ini mengakibatkan banyak calon ASN yang terlanjur keluar dari pekerjaan sebelumnya kini terjebak dalam ketidakjelasan. Mereka harus menunggu hingga 1 Oktober 2025 untuk CASN dan Maret 2026 bagi PPPK sebelum bisa resmi bekerja. Kondisi ini dikhawatirkan menambah angka pengangguran di Indonesia.
Kebijakan yang Tidak Memihak Tenaga Kerja
Yassierli menegaskan bahwa program pelatihan terbuka bagi siapa saja, termasuk mereka yang kini menganggur akibat keputusan pemerintah tersebut. “Kita punya program pelatihan dan itu berlaku untuk siapa pun,” ujar Yassierli di Kompleks MPR/DPR RI, Selasa (11/3/2025). Namun, pernyataan ini justru memicu kritik karena dianggap sebagai solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar masalah.
Sebagian besar CASN dan PPPK telah melewati proses seleksi yang panjang dengan harapan dapat segera bekerja dan mendapatkan kepastian ekonomi. Namun, kebijakan penundaan ini justru membuat mereka harus mencari cara lain untuk bertahan hidup. Tanpa adanya kompensasi atau jaminan dari pemerintah, mereka kini berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Pemerintah beralasan bahwa penundaan ini dilakukan karena kuota formasi ASN tahun ini yang tinggi, yakni 1.017.000 untuk PPPK dan 248.970 untuk PNS. Hal ini berdampak pada lonjakan belanja pegawai dalam APBN 2025 yang mencapai Rp521 triliun, meningkat signifikan dibandingkan Rp460,8 triliun pada tahun sebelumnya.
Meski demikian, kebijakan ini dinilai kurang mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Dengan jumlah sebesar itu, pemerintah seharusnya telah memiliki perencanaan matang terkait kebutuhan anggaran dan distribusi pegawai. Namun, kenyataannya, mereka justru menciptakan ketidakpastian bagi ribuan tenaga kerja yang telah lolos seleksi.
Minimnya Kejelasan dari Pemerintah
Menanggapi kondisi ini, Yassierli berjanji untuk menelaah jumlah CASN dan PPPK yang kini menganggur guna memberikan bantuan pekerjaan. “Datanya akan kita lihat,” ujarnya. Namun, pernyataan ini dinilai tidak memberikan kepastian karena tidak ada langkah konkret yang dijelaskan.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Haryomo Dwi Putranto, menyebut bahwa penyesuaian pengangkatan dilakukan karena perbedaan waktu penerbitan Surat Keputusan (SK) antarinstansi. “Sehingga, ada yang sudah bekerja karena usulan dari instansi cepat, ada yang belum karena SK-nya belum ditetapkan. Nah, kami tidak ingin terjadi seperti itu,” katanya.
Namun, penjelasan ini dianggap tidak cukup menjawab kegelisahan para calon ASN. Banyak pihak mempertanyakan mengapa ketidaksinkronan ini baru ditemukan setelah proses seleksi selesai dan bukan sejak awal perencanaan.
Dengan kebijakan penundaan ini, ribuan calon ASN kini berada dalam posisi yang rentan. Pemerintah seharusnya memberikan solusi yang lebih konkret, seperti pemberian kompensasi atau jaminan pendapatan sementara, agar mereka tidak mengalami kesulitan ekonomi.
Alih-alih memberikan kepastian, kebijakan ini justru menambah ketidakpastian bagi para calon ASN yang telah berjuang melewati proses seleksi yang panjang. Jika tidak segera ditangani dengan baik, dampak dari kebijakan ini bisa semakin luas, baik terhadap individu yang terdampak maupun terhadap citra pemerintah dalam mengelola tenaga kerja di Indonesia.